sumber:http://javamountaincoffee.org/java-coffee-history |
Kopi pun kemudian menjadi komoditas dagang yang sangat diandalkan oleh VOC. Tahun 1706 Kopi Jawa diteliti oleh Belanda di Amsterdam, yang kemudian tahun 1714 hasil penelitian tersebut oleh Belanda diperkenalkan dan ditanam di Jardin des Plantes oleh Raja Louis XIV.
Ekspor kopi Indonesia pertama kami dilakukan pada tahun 1711 oleh VOC, dan dalam kurun waktu 10 tahun meningkat sampai 60 ton / tahun. Hindia Belanda saat itu menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia, yang menjadikan VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 – 1780. Kopi Jawa saat itu sangat tekenal di Eropa, sehingga orang-orang Eropa menyebutnya dengan “ secangkir Jawa”. Sampai pertengahan abad ke 19 Kopi Jawa menjadi kopi terbaik di dunia.
Produksi kopi di Jawa mengalami peningkatan yang cukup siginificant, tahun 1830 – 1834 produksi kopi Arabika mencapai 26.600 ton, dan 30 tahun kemudian meningkat menjadi 79.600 ton dan puncaknya tahun 1880 -1884 mencapai 94.400 ton. Hal tersebut disebabkan pada tahun 1830 di Hindia Belanda dikembangkan sebuah sistem yang berangsur-angsur memaksa masyarakat petani di Jawa menghasilkan komoditi-komoditi tertentu bagi pemerintah.
Produk-produk yang terkumpul harus diekspor ke negara Belanda atas nama pemerintah oleh Nederlandsche Handels Maatschappij( NHM ) yang didirikan pada tahun 1834 atas prakarsa raja Belanda. Eksploitasi produksi pertanian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ini diwujudkan dengan mewajibkan penduduk untuk menanami kebun-kebun mereka dengan tanaman ekspor yang hasilnya harus disetorkan kepada pemerintah. Sistem ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat oleh pihak pemerintah. Pelaksanaan sistem eksploitasi baru ini dilaksanakan dengan melalui alat birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses mobilisasi sumber daya perekonomian agraris tanah jajahan yang berupa tanah dan tenaga kerja. Sistem eksploitasi diatas mengisyaratkan bahwa pemerintah kolonial selain berfungsi sebagai badan pemerintahan sekaligus juga berfungsi menjadi badan usaha. Pada kenyataannya usaha mengeksploitasi Hindia Belanda yang dalam penanganannya dimonopoli oleh pemerintah dengan sistem tanam paksa, dalam waktu yang relatif singkat telah membawa keuntungan yang sangat besar. Perkebunan telah meluas dalam tempo yang sangat singkat.
Kecepatan tumbuhnya areal perkebunan pada masa tanam paksa tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan metode yang digunakan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa ini, yaitu dengan menggandeng kekuasan tradisional untuk menggerakkan sistem tersebut. Penggerak sistem ini sebenarnya tidak semata-mata kekuasaan tradisional tetapi hampir meliputi seluruh unsur kekuasaan yang ada di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Sistem ini bergerak melalui saluran kekuatan birokrasi pemerintah, baik birokrasi pribumi maupun birokrasi Eropa. Pejabat pribumi mencakup para bupati di tingkat kabupaten sampai kepala-kepala desa di tingkat desa dengan ikatan tradisionalnya yang bertugas langsung dalam pelaksanaan penanaman. Pejabat-pejabat Eropa, meliputi para residen, asisten residen, kontrolir, dan pengawas tanaman yang bertugas sebagai pengawas jalannya pelaksanaan sistem tanam paksa. Bupati bertanggung jawab kepada pemerintahan bangsa Eropa, tetapi tidak jarang para pejabat Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Dengan sistem kerja yang demikian maka aparatur pemerintah Eropa pada masa tanam paksa bertambah besar. Sebagai contoh, jumlah asisten residen yang pada tahun 1844 hanya berjumlah 32 orang, pada tahun 1866 menjadi 60 orang.
Pengawasan orang-orang Eropa di pedalaman yang dimulai sejak hari-hari terakhir kompeni dan yang pada masa Daendels dalam stetsel tanah bertambah, dalam sistem tanam paksa lebih diperluas lagi. Dalam sistem tanam paksa pemerintah Eropa dan Indonesia ( pribumi ) dilebur menjadi apa yang oleh Furnivall disebut sebagai tremendously powerfull instrument of government ( instrumen pemerintah yang teramat kuat dan berkuasa)
Kepala desa merupakan ujung tombak dari pelaksanaan sistem ini, sehingga banyak hal yang dituntut dari mereka oleh pemerintah. Prestasi kepala-kepala desa terutama diukur berhasil tidaknya penanaman dalam desa mereka. Jika dalam hal ini mereka memuaskan maka mereka akan diperlakukan dengan segala kemurahan hati. Alasan yang paling penting yang merangsang para birokrat lebih giat bekerja adalah adanya prosentase tertentu dari setiap hasil panen hasil bumi yang diberikan kepada mereka, yang diistilahkan sebagai uang kehormatan. Sebagai contoh untuk setiap panenan kopi di Karesidenan Banyumas maka masing-masing pejabat, baik pejabat Eropa maupun pejabat pribumi akan mendapatkan prosentase uang kehormatan dari jumlah panenan sebagai berikut :
Tabel 5
Prosentase Hasil Panenan Untuk Uang Kehormatan Para Pejabat di Tiap Kabupaten di Karesidenan Banyumas
Tahun 1838
Jabatan
|
Kabupaten
| |||
Banyumas
|
Purbalingga
|
Purwokerto & Dayaluhur
|
Banjarnegara
| |
Residen
Ass. Residen
Kontrolir
Bupati
Wedana
Mantri
Mandor
Lurah
|
0,5 %
-
0,5 %
0,5 %
0,33 %
0,17 %
0,17 %
2 %
|
0,5 %
0,5 %
-
0,5 %
0,33 %
0,08 %
0,08 %
2 %
|
0,25 %
0,25 %
0,38 %
0,5 %
0,25 %
0,25 %
-
2 %
|
0,5 %
0,5 %
0,5 %
0,5 %
0,5 %
-
-
2 %
|
Sumber : Statistiek der Residentie Banjoemas, 1838, Litt. No.9Arsip Banyumas 20.16
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa kepala desa sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem tanam paksa mendapat uang kehormatan yang paling besar yaitu 2 % dari seluruh hasil panenan di desanya. Dengan perangsang ini maka kepala desa bekerja sekuat tenaga untuk memperluas perkebunan di wilayahnya terutama untuk perkebunan kopi. Dalam tempo yang relatif sangat singkat, di Karesidenan Banyumas telah ditanam jutaan pohon kopi yang tersebar di seluruh kabupaten. Pada tahun 1838, tujuh tahun setelah sistem tanam paksa diberlakukan di Banyumas, seluruh tanaman kopi berjumlah 21.140.722 pohon.Dari jumlah tersebut, masing-masing terbagi dalam klasifikasi, yaitu:
1. kopi kebun ( tuin ),
2. kopi hutan ( bosch-koffij )
3. kopi pagar (pagger-koffij)
Secara terperinci jumlah tanaman kopi di Karesidenan Banyumas adalah sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini
Tabel 6
Klasifikasi Tanaman Kopim Di Karesidenan Banyumas Tahun 1838
Kabupaten
|
Kopi Kebun
|
Kopi Hutan
|
Kopi Pasar
|
Jumlah Keseluruhan
| ||||||
Pohon Produktif
|
Pohon
Muda
|
Jumlah
|
Pohon Produktif
|
Pohon
Muda
|
Jumlah
|
Pohon Produktif
|
Pohon
Muda
|
Jumlah
| ||
Banyumas
Purbalingga
Purwokerto
Daya Luhur
Banjarnegara
|
90.400
121.000
802.425
561.010
526.185
|
31.000
1.200.750
160.950
47.465
605.352
|
121.400
1.321.750
963.375
603.475
1.131.537
|
-
-
335.400
219.200
26.393
|
20.020
160.542
153.800
19.000
81.007
|
20.020
160.542
489.200
238.200
107.400
|
2.128.531
3.837.215
1.351.000
372.800
760.170
|
1.547.613
4.690.493
574.800
151.150
570.051
|
3.676.144
8.527.702
1.925.800
523.950
1.330.221
|
3.817.564
10.010.000
3.370.375
1.365.625
2.569.158
|
Jumlah
|
2.101.020
|
0.040.517
|
4.141.537
|
580.993
|
434.369
|
1.015.362
|
8.449.716
|
7.534.107
|
15.983.823
|
21.140.722
|
Sumber : Statistiek der Residentie Banjoemas, 1836, Litt.. No 9. Arsip Banyumas 20.16
Berbeda dengan tanaman tebu yang harus ditanam dalam ladang-ladang tersendiri dan tidak boleh tercampur dengan tanaman lain, tanaman kopi dapat digabung dengan tanaman lain terutama untuk kopi kebun dan kopi pager. Sedangkan kopi hutan di tanam di hutan yang telah dibabat di lereng-lereng gunung. Untuk kopi kebun dan kopi pager tidak jarang ditanam bersama-sama dengan tanaman bahan pangan. Karena kopi hutan ditanam di lereng-lereng gunung yang jauh dari pemukiman penduduk, para petani terpaksa menempuh jarak agak jauh untuk menanam kopi, merawat, dan kemudian memanennya. Kondisi geografis yang sulit serta sarana transportasi yang juga masih sulit, maka tidak mengherankan apabila penanaman kopi hutan di Karesidenan Banyumas lebih sedikit dibandingkan dengan penanaman kopi kebun dan kopi pager. Kopi pager menempati posisi tertinggi secara kuantitas, sementara kopi kebun hanya seperempatnya.
Penanaman kopi hutan terbanyak di Kabupaten Purwokerto, terutama ditanam di distrik Ajibarang yang tanahnya bergunung-gunung dan sebagian ditanam di lereng-lereng gunung Slamet.
Ada sebab-sebab lain mengapa jumlah tanaman kopi pager lebih banyak dibandingkan dua jenis lainnya. Meskipun penanaman kopi secara intensif baru dilaksanakan pada masa tanam paksa, ternyata kopi sebelum menjadi tanaman wajib di beberapa daerah di Karesidenan Banyumas telah dikembangkan tanaman ini oleh petani setempat. Dalam laporan yang dibuat oleh Hallewijn disebutkan bahwa di Distrik Kertanegara ( Kabupaten Purbalingga ) penduduk telah menanam kopi. Tidak disebutkan dari mana mereka pertama kali memperoleh bibit kopi. Pada tahun 1838 di kabupaten Purbalingga sudah terdapat 3.837.215 batang pohon kopi pagar. Menurut Djuliati Suroyo, kopi yang ditanam penduduk sebelum masa tanam paksa diistilahkan sebagai kopi manasuka. Mereka menanam kopi di pekarangan serta kebun di sekitar rumah, sehingga orang Belanda manamakan kopi yang mereka tanam dengan istilah paggerkoffij.
Kopi manasuka merupakan kopi yang diproduksi penduduk secara bebas. Usaha kopi ini cukup mendatangkan keuntungan sebagai usaha sampingan petani. Tanaman ini merupakan milik pribadi mereka dengan pemeliharaan yang relatif ringan karena dekat dengan rumah. Pada waktu itu kopi belum begitu populer di kalangan petani, namun usaha sampingan ini menunjukkan prospek yang baik. Hasil panenan kopi biasanya dibeli oleh para pedagang Cina yang datang dari Tegal dan Pekalongan. Maka wajar apabila tanaman kopi paling banyak terdapat di Kabupaten Purbalingga.Dalam penjualannya pun petani bebas menjual hasil panenan mereka kepada siapapun. Baru pada tahun 1832 pemerintah menetapkan semua hasil kopi harus dijual kepada pemerintah. Dengan kata lain pemerintah memegang monopoli pembelian kopi. Baru setelah masa tanam paksa, ada istilah kopi kebun dan kopi hutan. Pada saat itu tanaman kopi meningkat dengan tajam.
Keterlibatan petani dalam perkebunan kopi ini tidak sebatas menanam dan merawatnya, tetapi juga memanen, menjemur, dan membersihkan bijih kopi sampai mengangkutnya ke gudang-gudang yang tersedia sebelum akhirnya di bawa ke gudang induk di Cilacap dengan perahu. Sampai tahun 1838 jumlah keluarga petani yang terlibat dalam perkebunan kopi di Karesidenan Banyumas adalah untuk Kabupaten Banyumas berjumlah 15.229 keluarga, Purbalingga 4.051 keluarga, Purwokerto 3.886 keluarga, Dayaluhur 3.657 keluarga, dan Banjarnegara 5.238 keluarga. Total keluarga yang terlibat dalam penggarapan perkebunan kopi di Karesidenan Banyumas pada tahun 1838 adalah 32.061 keluarga. Seluruh keluarga ini tersebar di 2.616 desa dan kampung.
Pada masa konsolidasi sistem tanam paksa antara pertengahan tahun-tahun 1830 sampai tahun 1870, kopi jelas-jelas merupakan tanaman ekspor utama di Jawa. Produksi kopi dibawah pengaturan pemerintah tersebar menyeluruh di seputar pulau, lain dengan penanaman tebu yang terbatas wilayahnya. Untuk wilayah Banyumas sendiri sejak mulainya sistem tanam paksa sampai sekitar tahun 1841 telah mengalami lonjakan hasil panen yang sangat besar, walaupun dalam grafik yang naik turun. Hal tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 7
Hasil Panenan Kopi di Karesidenan Banyumas Tahun 1833-1841
Tahun
|
Jumlah
( Dalam Pikul )
|
Tahun
|
Jumlah
( Dalam Pikul )
|
1833
1834
1835
1836
1837
|
4.755
13.068
6.949
28.788
35.250
|
1838
1839
1840
1841
|
23.419
84.341
28.096
65.681
|
Sumber : Statistiek der Residentie Banjoemas, 1838, Litt, No.10.Arsip Banyumas 20.16
Statistiekeopgeven der Residentie Banjoemas van en met 1836 tot en met 1841.Arsip Banyumas 20.10
Hasil panenan kopi yang cenderung naik tersebut karena setiap tahun terjadi penambahan penanaman kopi yang sangat pesat di masing-masing kabupaten. Seluruh hasil panenan tersebut di setorkan kepada pemerintah berujud kopi yang sudah bersih dan siap dikapalkan ke negeri induk. Untuk jenis kopi yang ditanam petani biasanya jenis kopi tertentu yang didasarkan atas kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah menghendaki pergantian jenis tanaman kopi, maka petani harus mengikuti. Selama masa tanam paksa petani Banyumas paling tidak sudah tiga kali mengganti jenis tanaman kopi mereka. Pertama kopi arabica, diganti kopi liberia dan terakhir kopi robusta.
Di samping kopi yang ditanam oleh penduduk sebagai bentuk pembayaran pajak, pemerintah juga memberikan konsesi kepada A.A. Gelpke seorang pengusaha Belanda pada tahun 1832 untuk membuka perkebunan kopi di Nusa Kambangan. Berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 7 Maret 1832, Gelpke membuka lahan seluas kurang lebih 12 km persegi di bagian barat daya pulau itu yang digunakan untuk perkebunan kopi. Sebanyak 30 sampai 100 ribu pohon kopi telah ditanam pada waktu itu. Beberapa orang penduduk pribumi telah ditempatkan di sana unuk keperluan menanam dan merawatnya. Waktu penyetoran wajib kopi berlahan-lahan berkurang dan akhirnya dihentikan. Tapi sistem ini tidak seluruhnya terhapus sebelum tahun 1920.
Sumber:
- http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id
- http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-92310-Sejarah-PENGEMBANGAN%20PERKEBUNAN%20DI%20BANYUMAS%20PADA%20MASA%20KOLONIAL.html